• Twitter
  • Facebook
  • Instagram

Jumat, 23 Januari 2015

Sesunyi Itukah Duniamu?



Kusut…
Memang nampak kusut baju ini bila dipandang dari mata-mata lentik manusia yang berdasi dan berkecukupan disana. Namun, hanya ini sisa pakaian waras yang bisa kugantungkan pada tubuh lemahku ini. Diantara bongkahan sampah dan tempat penyakit bersarang aku bernaung. Tempat yang tak layak disebut sebagai sebuah rumah bahkan mungkin disebut sebagai rumah anjing pun tak layak. Beratapkan seng –seng yang berkarat. Terik matahari pun bisa menembus sela-sela atap rumahku.
Seringkali ku menjerit dalam diam. Merasa sepi di antara hiruk pikuk ramainya kota ini. Terisak-isak dalam kerapuhan yang mendera dunia ini. Bagaimana tidak, melihat anak seusiaku bersekolah, belajar,bersenda gurau, menikmati masa remjanya dengan baik dan juga bisa bermain dengan leluasanya tanpa memikirkan akan makan apa nanti dan besok akan ada makan atau tidak.
Malang..
Memang malang benar nasib ini, mungkin orang lain memimpikannya pun tak sanggup dan tak akan mampu. Aku hidup bersama ayahku. Ibuku telah lama meninggal setelah melahirkan adikku. Adikku seorang perempuan, sama sepertiku. Namun, aku jauh lebih bersyukur karna aku memiliki fisik yang lebih sempurna dibandingkan dia. Dia tak bisa mendengar.
Dengan sabar, setiap hari aku memandikannya, menyuapinya makan, dan mengajaknya bermain supaya tidak bosan. Bahkan jika memungkinkan seringkali aku mengajaknya untuk menjual kerupuk hasil produksi tetanggaku. Seketika itu, setiap kali aku mengajak adikku untuk berjualan denganku, anak-anak seusia adikku mengejek adikku.
“Ga bisa dengar.” Ejek anak  itu.
“Tuli… Tuli … Tuli” sahut anak yang lain dengan kencangnya sambil mengelilingi kami.
Tanpa emosi, atau marah sedikitpun aku terus berjalan dengan menggandeng tangann adikku dengan eratnya. Hingga adikku bertanya dengan bahasa tubuhnya dan ekspresi wajahnya. Lalu aku menjawab ;
“Tidak, tidak, tidak ada apa-apa” ucapku ambil menggelengkan kepala dan menggerakkan tanganku ke kanan dan ke kiri.
Adikku tersenyum dan menggenggam tanganku dengan sangat erat, mungkin saja hati nuraninya merasakan sesuatu bahkan mungkin sedang menjerit. Karna keterbatasanku dalam memahami bahasa yang aku gunakan untuk berkomunikasi dengan adikku aku hanya berdoa kepada sang pencipta, untuk selalu dikuatkan dan diberi jalan yang terbaik.
Setelah seharian berkeliling, waktunya sholat dzuhur tiba, kemudian aku mampir ke sebuah masjid yang besar di tengah kota. Aku sempat tersentak karena masjid sebesar namun jamaahnya hanya bisa dihitung dengan jari saja. Astaghfirullohal’adzim.. sambil mengusap dada.  Setelah sholat aku kembali berkeliling untuk mengais rejeki. Selain kerupuk aku juga berkeliling menjual bunga-bunga dari plastik hasil kerajinan masyarakat setempat. Sampai jarum jam menunjuk angka 2, belum ada satu daganganku pun laku terjual. Aku melihat adikku yang mungkin saja kelelahan, akhirnya aku menyuruh adikku untuk beristirahat di bawah pohon yang cukup rindang. Hingga dia tertidur.
Karena dia tertidur aku melanjutkan jualanku dan membelikannya makanan. Setelah melanjutkan berjualan, tak jauh dari tempat itu ternyata ada yang membeli.
“Hey hey nak beli kerupuknya..” sahut seorang wanita paruh baya.
Sejenak saya berbalik arah dan menghampirinya.
“Iya bu, mau beli berapa bu?” tanyaku dengan nada suara lemah, dan dengan ekspresi wajah penuh kesyukuran.
“Semuanya berapa nak?” jawab wanita itu.
Sontak aku kaget dan tercengang. Kemudian ibu itu menegaskan lagi. “Boleh tidak nak?”
Lalu aku menjawab dengan terbata-bata dan sedikit mengeluarkan tetes air mata. “Bo..bo..leh bu, totalnya Rp.15.000”
“Ini nak, uangnya.” Sambil memberikan uangnya.
“Terima kasih bu, terima kasih banyak.” Jawabku.
“Iya, nak. Sama- sama. Oh iya nak, berapa harga bunga per ikatnya?” tanya lagi ibu itu.
“ Rp. 1500 bu..” ucapku.
“Boleh ibu membeli semuanya?” tanya ibu itu.
“Beli banyak sekali untuk apa bu?” jawabku
“Buat, anak-anak ibu nak? Boleh tidak?” sahutnya.
“Boleh bu, totalnya Rp. 15,000.00” ucapku.
“Oh, baiklah, ini nak..” sambil menyerahkan uangnya kepadaku.
“Bu, maaf saya tidak ada kembaliannya, ada uang pasnya saja bu? “ ucapku sambil menyerahkan uang kepada ibu itu.
“Tidak nak..” ungkapnya.
“ Ya sudah bu, bunganya diambil saja dulu, besok saya kesini lagi.” Tegasku.
“Oh, jangan seperti itu, nanti apa kata supplier kamu jika bunganya habis tapi tidak ada uangnya. Ini ambil saja kembaliannya.” Paksa ibu itu.
“Tidak bu, tidak bisa. Ini baru ada Rp. 15 .000, besok saya kesini lagi untuk mengembalikan uang kembaliannya.”
“Tidak usah nak, ibu ikhlas..” paksa ibu itu.
“Jangan seperti itu bu, sekarang mencari uang itu susah.” Tegasku lagi.
“ Iya nak, besok kesini lagi tidak apa-apa, terima kasih banyak. Kamu anak yang sangat jujur dan baik hati.” Kata ibu itu.
“Terima kasih bu, baru ibu yang mengatakan saya demikian selama hampir 10 tahun yang lalu, ketika usiaku baru 7 tahun.”
Setelah berpamitan dengan ibu itu, aku langsung membeli makanan, berharap adikku masih tidur nyenyak di samping pohon dan ketika bangun sudah ada makanan disampingnya. Selang beberapa lama, aku kembali ke tempat adikku terlelap lagi sambil membawa bungkusan nasi rames dengan lauk tempe goreng kesukaannya.
Setelah sampai, sontak aku terkejut dan limpung dibuatnya. Adikku sudah tak ada disitu. Aku bergegas mencari adikku ke sekeliling. Hingga terdengar adzan maghrib aku masih mencarinya namun tak ada tanda-tanda apapun. Aku berpikir kalau dia diculik. Karena dari tampilan fisiknya terlihat seperti orang normal, bahkan lebih cantik, seperti keturunan cina.
Aku juga terperanjat karena belum sholat ashar. Seketika itu, aku menangis terisak-isak hingga tergugu. Bahkan ketika sholat maghrib di mushola sekalipun. Aku tak berani pulang karena takut dipukul ayah karena teledor. Pikiranku kacau saat itu, semalaman aku tak pulang, terus mencari adikku dengan langkah kecilku, aku bahkan lupa jika belum menelan satu butir nasipun sejak pagi.
Aku tetap mengkhawatirkan nasib adikku, aku tidak habis pikir jika adikku sendirian di keramaian kota, tanpa bisa mendengar sedikitpun dan tak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Pikiran-pikiran buruk selalu menyelimutiku. Bertanya kesana-kemari tidak satu orangpun yang melihatnya. Aku kacau kala itu, hingga tak sadarkan diri di tepi jalan. Kemudian aku ditolong oleh orang sekitar, dan dibawa ke puskesmas terdekat.
Aku tersadar..
Kala itu, aku kalut, dan terus memanggil- manggil adikku. Dan segera aku melepas semua peralatan medis yang ada dibadanku. Aku bergegas pergi, namun aku ditahan oleh dokter yang merawatku. Dokternya masih muda, dan sangat tampan. Aku tak bisa lepas dari dekapannya. Kemudian aku berbaring lagi di tempat tidur puskesmas dan aku disuapi oleh dokter itu.
Bahkan setelah itu, aku diijinkan untuk pergi tanpa membayar biaya administrasi. Aku melanjutkan untuk mencari keberadaan adikku. Aku pulang ke rumah, namun ayahku tak ada disana, bahkan nampak dari kondisi rumah sepertinya tak ada tanda-tanda jika dia pulang semalam. Aku tak memperdulikan itu. Aku terus mencari adikku hingga tak berjualan.
Selang 3 hari kemudian, ayahku pulang, dan dia menanyakan keberadaan Ina.
“Rum, adikmu kemana?” tanya ayahku dengan nada suara lembut.
“Itu, yah.. anu.. anu..” jawabku sambil terbata-bata
“Itu apa, jawab yang jelas, ditanya orang tua malah seperti orang gagu.” Tegasnya.
“Ina.. Ina.. Ina hilang yah.” Sambil menangis tersedu.
“Bodoh, kamu kemanakan anak tuli itu. Tapi baguslah, biar saja, dia hanya merepotkan.” Ungkapnya dengan raut muka yang datar, tanpa ada penyesalan sedikit pun.
“Ayah ini ayah macam apa, bukannya sedih karna anak kandungnya hilang, malah bersyukur. KEJAM, JAHAT” ungkapku dengan nada suara yang menggebu-gebu. Seketika itu aku membanting pintu rumah dan bergegas pergi meninggalkan rumah.
“Sana, pergi yang jauh, jangan pernah balik lagi. Sana cari adikmu yang tuli itu, dan jangan bawa pulang lagi kesini. Kerjaannya Cuma merepotkan.” Jawabnya dengan marah-marah.
Sepanjang jalan aku menangis sambil memanggil-manggil nama adikku. “Ina… Ina… Ina…”dan sempat berkali-kali terjatuh. Hingga sebuah mobil mewah menyerempetku dari arah belakang. Aku terlempar dan seluruh tubuhku bersimbah darah, namun tidak ada yang patah. Aku sempat mendengar suara-suara keributan sebelum aku tak sadarkan diri.
Saat terbangun, aku sudah berada di kamar yang sangat indah, aku berpikir bahwa aku sudah mati dan sudah berada di surga. Karna disampingku ada sosok laki-laki yang sangat tampan dan menawan.
“apakah aku sudah mati wahai bidadara?” tanyaku
Laki-laki itu sontak terkejut dan dengan senyum manis dibibirnya menjawab “belum mba, Alhamdulillah mbak, sudah sadarkan diri.”
“Maksudnya” jawabku sambil mencoba mengangkat tubuhku.
“Jangan dulu, kondisi mbak masih sangat lemah.” Katanya.
Kemudian aku menangis, dan laki-laki itu bertanya. “Mengapa menangis dan siapa itu Ina?”
Lalu aku menjawab dan menceritakan semua kejadiannya, dan laki-laki itu berjanji akan membantu mencari adikku yang malang itu.
Setelah beberapa hari, aku diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawatku. Dan laki-laki itu yang ku panggil dengan “Mas” membantuku mencari. Hingga di suatu sore aku berhenti di masjid agung yang berada di tengah kota, untuk melaksanakan sholat ashar. Setelah selesai aku duduk diteras mushola dan berbincang dengan lak-laki itu. Lalu aku melihat ada seorang anak kecil dari kejauhan yang sedang bermain dengan asiknya, kuperhatikan dengan seksama. Dan kuhampiri mereka, dan ternyata di sana ada adikku yang sedang asik melukis dengan kanvas pada selembar kertas yang sederhana.
Aku ingat, adikku sangat senang melukis bahkan karna tidak memiliki kanvas dan cat air, adikku sering menggunakan pewarna kain yang murah. Seketika itu aku langsung memeluknya dan kami tidak bisa menyembunyikan air mata kita.
“Alhamdulillahirobbil ngalamiin, terima kasih ya Alloh telah mempertemukan kami lagi.” Ucapku dalam hati sambil memeluk Ina.
Ternyata selama ini Ina dirawat oleh Ibu yang dulu membeli kerupuk dan bunga plastik saya. Karena Ibu itu bisa berbahasa isyarat (notabene guru SLB), maka Ina nyaman disitu bahkan disana Ina bisa mengembangkan bakatnya.
Laki-laki tampan itu melihat-lihat lukisan adikku, dan takjub melihat hasilnya. Kemudian berkata.
“Wow.. keren sekali lukisannya, artistik sekali, punya nilai estetika yang tinggi. Bagaimana kalo kita pasarkan lukisan adikmu ini, nanti hasilnya bisa untuk operasi Cochlear Implant, sehingga adikmu bisa mendengar?”
Sontak aku menjawab “Setuju, tapi bagaimana caranya?”
“Tenang saja, aku punya paman yang biasa memasarkan lukisan-lukisan berkelas” jawabnya dengan santai.
“Tapi lukisan adikku biasa saja.” Ucapku merendah.
“Kata siapa, memang tahu apa kamu tentang dunia lukis. Lukisan adikmu ini bercita rasa tinggi.” Sanjung dia.
“Iya, iya aku memang orang yang tak berpendidikan.” Ucapku lagi.
“Bukan seperti itu maksudku, yang penting ayo kita segera bawa ke tempat pamanku.” Tegas dia.
“ Iya, iya. Ayo.” Jawabku.
Dengan perasaan yang tak terduga ternyata lukisan adikku laku di pasaran dan bernilai lebih dari ratusan juta untuk satu lukisan. Kami kembali ke rumah, dan ternyata ayahku sakit keras, seketika itu kami saling meminta maaf dan kami membawa ayah ke rumah sakit.
Ketika ayah dirawat intensif di rumah sakit ternyata ayah menderita kanker paru stadium 2b. Dan kala itu juga adikku melakukan operasi Cochlear Implant. Kemudian setelah operasi, adikku sedikit demi sedikit bisa mendengar, mulai dari mendengar radio hingga mulai bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Ketika ayahku sudah dipindahkan di ruangan rawat inap, di sana kami mengobrol, dan dipenuhi isak tangis kebahagiaan. Setelah pulang dari rumah sakit kami pindah rumah, sekarang kami tinggal di lingkungan yang lebih kondusif dan keadaan rumah yang pantas untuk kita huni. Aku dan adikku melanjutkan sekolah. Adikku masuk sekolah luar biasa. Dan aku mengejar paket B agar bisa masuk ke SMA. Aku remaja yang tidak terlalu bodoh, jadi aku bisa mengejar ketertinggalanku.
Kemudian aku mampu lulus di usiaku yang ke 19 tahun. Kala itu aku juga melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan Pendidikan Luar Biasa, supaya bisa memahami anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Di sisi lain ternyata adikku jauh lebih dewasa dibandingkan aku, adikku yang usianya lebih muda 8 tahun dari aku. Dia menyumbangkan seperempat uang hasil penjualan lukisan untuk mendirikan yayasan untuk anak-anak tuna rungu, dan anak-anak yang memiliki difabilitas lainnya untuk mengembangkan bakat mereka dibalik kekurangannya. Seketika itu aku yang menjadi pengelolanya.
Ketika adikku dan ayahku rajin menjalani pengobatan, aku dan ayahku mendengar cerita adikku di dunia yang sangat sunyi yang pernah ia jalani ketika tidak bisa mendengar dunia. Yang bisa membautku senantiasa selalu bersyukur kepada Alloh atas karunia yang ada dihidupku. Setelah bisa mendengar adikku sangat menyukai suara adzan dan suara ayat suci Al-Quran. Adikku bergumam “Mungkin sesunyi-sunyinya tak bisa mendengar, lebih sunyi lagi jika kita bisa mendengar tapi tak pernah mendengar ayat Al-Quran dilantunkan.”



(Sugesti Yoan Ahmad Yani)
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Unnes 2013

0 komentar:

Kontak

Hubungi Kami


Alamat

Gedung PKM Lantai 1 Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Nomor

+62 856 4075 5770

Website

bk.unnes.ac.id