Kusut…
Memang nampak
kusut baju ini bila dipandang dari mata-mata lentik manusia yang berdasi dan
berkecukupan disana. Namun, hanya ini sisa pakaian waras yang bisa kugantungkan
pada tubuh lemahku ini. Diantara bongkahan sampah dan tempat penyakit bersarang
aku bernaung. Tempat yang tak layak disebut sebagai sebuah rumah bahkan mungkin
disebut sebagai rumah anjing pun tak layak. Beratapkan seng –seng yang berkarat.
Terik matahari pun bisa menembus sela-sela atap rumahku.
Seringkali ku
menjerit dalam diam. Merasa sepi di antara hiruk pikuk ramainya kota ini. Terisak-isak dalam
kerapuhan yang mendera dunia ini. Bagaimana tidak, melihat anak seusiaku bersekolah,
belajar,bersenda gurau, menikmati masa remjanya dengan baik dan juga bisa
bermain dengan leluasanya tanpa memikirkan akan makan apa nanti dan besok akan
ada makan atau tidak.
Malang..
Memang malang
benar nasib ini, mungkin orang lain memimpikannya pun tak sanggup dan tak akan
mampu. Aku hidup bersama ayahku. Ibuku telah lama meninggal setelah melahirkan
adikku. Adikku seorang perempuan, sama sepertiku. Namun, aku jauh lebih
bersyukur karna aku memiliki fisik yang lebih sempurna dibandingkan dia. Dia tak
bisa mendengar.
Dengan sabar,
setiap hari aku memandikannya, menyuapinya makan, dan mengajaknya bermain
supaya tidak bosan. Bahkan jika memungkinkan seringkali aku mengajaknya untuk
menjual kerupuk hasil produksi tetanggaku. Seketika itu, setiap kali aku
mengajak adikku untuk berjualan denganku, anak-anak seusia adikku mengejek
adikku.
“Ga bisa dengar.”
Ejek anak itu.
“Tuli… Tuli …
Tuli” sahut anak yang lain dengan kencangnya sambil mengelilingi kami.
Tanpa emosi, atau
marah sedikitpun aku terus berjalan dengan menggandeng tangann adikku dengan
eratnya. Hingga adikku bertanya dengan bahasa tubuhnya dan ekspresi wajahnya.
Lalu aku menjawab ;
“Tidak, tidak,
tidak ada apa-apa” ucapku ambil menggelengkan kepala dan menggerakkan tanganku
ke kanan dan ke kiri.
Adikku tersenyum
dan menggenggam tanganku dengan sangat erat, mungkin saja hati nuraninya
merasakan sesuatu bahkan mungkin sedang menjerit. Karna keterbatasanku dalam
memahami bahasa yang aku gunakan untuk berkomunikasi dengan adikku aku hanya
berdoa kepada sang pencipta, untuk selalu dikuatkan dan diberi jalan yang
terbaik.
Setelah seharian
berkeliling, waktunya sholat dzuhur tiba, kemudian aku mampir ke sebuah masjid
yang besar di tengah kota. Aku sempat tersentak karena masjid sebesar namun
jamaahnya hanya bisa dihitung dengan jari saja. Astaghfirullohal’adzim.. sambil mengusap dada. Setelah sholat aku kembali berkeliling untuk
mengais rejeki. Selain kerupuk aku juga berkeliling menjual bunga-bunga dari
plastik hasil kerajinan masyarakat setempat. Sampai jarum jam menunjuk angka 2,
belum ada satu daganganku pun laku terjual. Aku melihat adikku yang mungkin
saja kelelahan, akhirnya aku menyuruh adikku untuk beristirahat di bawah pohon
yang cukup rindang. Hingga dia tertidur.
Karena dia
tertidur aku melanjutkan jualanku dan membelikannya makanan. Setelah melanjutkan
berjualan, tak jauh dari tempat itu ternyata ada yang membeli.
“Hey hey nak beli
kerupuknya..” sahut seorang wanita paruh baya.
Sejenak saya
berbalik arah dan menghampirinya.
“Iya bu, mau beli
berapa bu?” tanyaku dengan nada suara lemah, dan dengan ekspresi wajah penuh
kesyukuran.
“Semuanya berapa
nak?” jawab wanita itu.
Sontak aku kaget
dan tercengang. Kemudian ibu itu menegaskan lagi. “Boleh tidak nak?”
Lalu aku menjawab
dengan terbata-bata dan sedikit mengeluarkan tetes air mata. “Bo..bo..leh bu,
totalnya Rp.15.000”
“Ini nak,
uangnya.” Sambil memberikan uangnya.
“Terima kasih bu,
terima kasih banyak.” Jawabku.
“Iya, nak. Sama-
sama. Oh iya nak, berapa harga bunga per ikatnya?” tanya lagi ibu itu.
“ Rp. 1500 bu..”
ucapku.
“Boleh ibu membeli
semuanya?” tanya ibu itu.
“Beli banyak
sekali untuk apa bu?” jawabku
“Buat, anak-anak
ibu nak? Boleh tidak?” sahutnya.
“Boleh bu,
totalnya Rp. 15,000.00” ucapku.
“Oh, baiklah, ini
nak..” sambil menyerahkan uangnya kepadaku.
“Bu, maaf saya
tidak ada kembaliannya, ada uang pasnya saja bu? “ ucapku sambil menyerahkan
uang kepada ibu itu.
“Tidak nak..”
ungkapnya.
“ Ya sudah bu,
bunganya diambil saja dulu, besok saya kesini lagi.” Tegasku.
“Oh, jangan
seperti itu, nanti apa kata supplier kamu jika bunganya habis tapi tidak ada
uangnya. Ini ambil saja kembaliannya.” Paksa ibu itu.
“Tidak bu, tidak
bisa. Ini baru ada Rp. 15 .000, besok saya kesini lagi untuk mengembalikan uang
kembaliannya.”
“Tidak usah nak,
ibu ikhlas..” paksa ibu itu.
“Jangan seperti
itu bu, sekarang mencari uang itu susah.” Tegasku lagi.
“ Iya nak, besok
kesini lagi tidak apa-apa, terima kasih banyak. Kamu anak yang sangat jujur dan
baik hati.” Kata ibu itu.
“Terima kasih bu,
baru ibu yang mengatakan saya demikian selama hampir 10 tahun yang lalu, ketika
usiaku baru 7 tahun.”
Setelah berpamitan
dengan ibu itu, aku langsung membeli makanan, berharap adikku masih tidur
nyenyak di samping pohon dan
ketika bangun sudah ada makanan disampingnya. Selang beberapa lama, aku kembali
ke tempat adikku terlelap lagi sambil membawa bungkusan nasi rames dengan lauk
tempe goreng kesukaannya.
Setelah sampai,
sontak aku terkejut dan limpung dibuatnya. Adikku sudah tak ada disitu. Aku
bergegas mencari adikku ke sekeliling. Hingga terdengar adzan maghrib aku masih
mencarinya namun tak ada tanda-tanda apapun. Aku berpikir kalau dia diculik.
Karena dari tampilan fisiknya terlihat seperti orang normal, bahkan lebih
cantik, seperti keturunan cina.
Aku juga
terperanjat karena belum sholat ashar. Seketika itu, aku menangis terisak-isak
hingga tergugu. Bahkan ketika sholat maghrib di mushola sekalipun. Aku tak
berani pulang karena takut dipukul ayah karena teledor. Pikiranku kacau saat
itu, semalaman aku tak pulang, terus mencari adikku dengan langkah kecilku, aku
bahkan lupa jika belum menelan satu butir nasipun sejak pagi.
Aku tetap
mengkhawatirkan nasib adikku, aku tidak habis pikir jika adikku sendirian di
keramaian kota, tanpa bisa mendengar sedikitpun dan tak bisa berkomunikasi
dengan orang lain. Pikiran-pikiran buruk selalu menyelimutiku. Bertanya
kesana-kemari tidak satu orangpun yang melihatnya. Aku kacau kala itu, hingga
tak sadarkan diri di tepi jalan. Kemudian aku ditolong oleh orang sekitar, dan
dibawa ke puskesmas terdekat.
Aku tersadar..
Kala itu, aku
kalut, dan terus memanggil- manggil adikku. Dan segera aku melepas semua
peralatan medis yang ada dibadanku. Aku bergegas pergi, namun aku ditahan oleh
dokter yang merawatku. Dokternya masih muda, dan sangat tampan. Aku tak bisa
lepas dari dekapannya. Kemudian aku berbaring lagi di tempat tidur puskesmas
dan aku disuapi oleh dokter itu.
Bahkan setelah
itu, aku diijinkan untuk pergi tanpa membayar biaya administrasi. Aku
melanjutkan untuk mencari keberadaan adikku. Aku pulang ke rumah, namun ayahku
tak ada disana, bahkan nampak dari kondisi rumah sepertinya tak ada tanda-tanda
jika dia pulang semalam. Aku tak memperdulikan itu. Aku terus mencari adikku
hingga tak berjualan.
Selang 3 hari
kemudian, ayahku pulang, dan dia menanyakan keberadaan Ina.
“Rum, adikmu
kemana?” tanya ayahku dengan nada suara lembut.
“Itu, yah.. anu..
anu..” jawabku sambil terbata-bata
“Itu apa, jawab
yang jelas, ditanya orang tua malah seperti orang gagu.” Tegasnya.
“Ina.. Ina.. Ina
hilang yah.” Sambil menangis tersedu.
“Bodoh, kamu
kemanakan anak tuli itu. Tapi baguslah, biar saja, dia hanya merepotkan.”
Ungkapnya dengan raut muka yang datar, tanpa ada penyesalan sedikit pun.
“Ayah ini ayah
macam apa, bukannya sedih karna anak kandungnya hilang, malah bersyukur. KEJAM,
JAHAT” ungkapku dengan nada suara yang menggebu-gebu. Seketika itu aku
membanting pintu rumah dan bergegas pergi meninggalkan rumah.
“Sana, pergi yang
jauh, jangan pernah balik lagi. Sana cari adikmu yang tuli itu, dan jangan bawa
pulang lagi kesini. Kerjaannya Cuma merepotkan.” Jawabnya dengan marah-marah.
Sepanjang jalan
aku menangis sambil memanggil-manggil nama adikku. “Ina… Ina… Ina…”dan sempat
berkali-kali terjatuh. Hingga sebuah mobil mewah menyerempetku dari arah
belakang. Aku terlempar dan seluruh tubuhku bersimbah darah, namun tidak ada
yang patah. Aku sempat mendengar suara-suara keributan sebelum aku tak sadarkan
diri.
Saat terbangun,
aku sudah berada di kamar yang sangat indah, aku berpikir bahwa aku sudah mati
dan sudah berada di surga. Karna disampingku ada sosok laki-laki yang sangat
tampan dan menawan.
“apakah aku sudah
mati wahai bidadara?” tanyaku
Laki-laki itu
sontak terkejut dan dengan senyum manis dibibirnya menjawab “belum mba, Alhamdulillah
mbak, sudah sadarkan
diri.”
“Maksudnya”
jawabku sambil mencoba mengangkat tubuhku.
“Jangan dulu,
kondisi mbak
masih sangat lemah.” Katanya.
Kemudian aku
menangis, dan laki-laki itu bertanya. “Mengapa menangis dan siapa itu Ina?”
Lalu aku menjawab
dan menceritakan semua kejadiannya, dan laki-laki itu berjanji akan membantu
mencari adikku yang malang itu.
Setelah beberapa
hari, aku diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawatku. Dan laki-laki itu
yang ku panggil dengan “Mas” membantuku mencari. Hingga di suatu sore aku
berhenti di masjid agung yang berada di tengah kota, untuk melaksanakan sholat
ashar. Setelah selesai aku duduk diteras mushola dan berbincang dengan lak-laki
itu. Lalu aku melihat ada seorang anak kecil dari kejauhan yang sedang bermain
dengan asiknya, kuperhatikan dengan seksama. Dan kuhampiri mereka, dan ternyata
di sana ada adikku yang sedang asik melukis dengan kanvas pada selembar kertas
yang sederhana.
Aku ingat, adikku
sangat senang melukis bahkan karna tidak memiliki kanvas dan cat air, adikku
sering menggunakan pewarna kain yang murah. Seketika itu aku langsung
memeluknya dan kami tidak bisa menyembunyikan air mata kita.
“Alhamdulillahirobbil
ngalamiin, terima kasih ya Alloh telah mempertemukan kami lagi.” Ucapku dalam
hati sambil memeluk Ina.
Ternyata selama
ini Ina dirawat oleh Ibu yang dulu membeli kerupuk dan bunga plastik saya.
Karena Ibu itu bisa berbahasa isyarat (notabene guru SLB), maka Ina nyaman
disitu bahkan disana Ina bisa mengembangkan bakatnya.
Laki-laki tampan
itu melihat-lihat lukisan adikku, dan takjub melihat hasilnya. Kemudian berkata.
“Wow.. keren
sekali lukisannya, artistik sekali, punya nilai estetika yang tinggi. Bagaimana
kalo kita pasarkan lukisan adikmu ini, nanti hasilnya bisa untuk operasi Cochlear Implant, sehingga adikmu bisa
mendengar?”
Sontak aku
menjawab “Setuju, tapi bagaimana caranya?”
“Tenang saja, aku
punya paman yang biasa memasarkan lukisan-lukisan berkelas” jawabnya dengan santai.
“Tapi lukisan
adikku biasa saja.” Ucapku merendah.
“Kata siapa,
memang tahu apa kamu tentang dunia lukis. Lukisan adikmu ini bercita rasa tinggi.” Sanjung dia.
“Iya, iya aku
memang orang yang tak berpendidikan.” Ucapku lagi.
“Bukan seperti itu
maksudku, yang penting ayo kita segera bawa ke tempat pamanku.” Tegas dia.
“ Iya, iya. Ayo.”
Jawabku.
Dengan perasaan
yang tak terduga ternyata lukisan adikku laku di pasaran dan bernilai lebih dari ratusan juta untuk satu
lukisan. Kami kembali ke rumah, dan ternyata ayahku sakit keras, seketika itu
kami saling meminta maaf dan kami membawa ayah ke rumah sakit.
Ketika ayah
dirawat intensif di rumah sakit ternyata ayah menderita kanker paru stadium 2b.
Dan kala itu juga adikku melakukan operasi Cochlear
Implant. Kemudian setelah operasi, adikku sedikit demi sedikit bisa
mendengar, mulai dari mendengar radio hingga mulai bisa berkomunikasi dengan
orang lain.
Ketika ayahku
sudah dipindahkan di ruangan rawat inap, di sana kami mengobrol, dan dipenuhi isak tangis
kebahagiaan. Setelah pulang dari rumah sakit kami pindah rumah, sekarang kami
tinggal di lingkungan yang lebih kondusif dan keadaan rumah yang pantas untuk
kita huni. Aku dan adikku melanjutkan sekolah. Adikku masuk sekolah luar biasa.
Dan aku mengejar paket B agar bisa masuk ke SMA. Aku remaja yang tidak terlalu
bodoh, jadi aku bisa mengejar ketertinggalanku.
Kemudian aku mampu
lulus di usiaku yang ke 19
tahun. Kala itu aku juga melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan Pendidikan
Luar Biasa, supaya bisa memahami anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Di
sisi lain ternyata adikku jauh lebih
dewasa dibandingkan aku, adikku yang usianya lebih muda 8 tahun dari aku. Dia
menyumbangkan seperempat uang hasil penjualan lukisan untuk mendirikan yayasan
untuk anak-anak tuna rungu, dan anak-anak yang memiliki difabilitas lainnya
untuk mengembangkan bakat mereka dibalik kekurangannya. Seketika itu aku yang
menjadi pengelolanya.
Ketika adikku dan
ayahku rajin menjalani pengobatan, aku dan ayahku mendengar cerita adikku di
dunia yang sangat sunyi yang pernah ia jalani ketika tidak bisa mendengar
dunia. Yang bisa membautku senantiasa selalu bersyukur kepada Alloh atas
karunia yang ada dihidupku. Setelah bisa mendengar adikku sangat menyukai suara
adzan dan suara ayat suci Al-Quran. Adikku bergumam “Mungkin sesunyi-sunyinya
tak bisa mendengar, lebih sunyi lagi jika kita bisa mendengar tapi tak pernah
mendengar ayat Al-Quran dilantunkan.”
(Sugesti Yoan Ahmad Yani)
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Unnes 2013
0 komentar:
Posting Komentar